26/09/2018

Forget Jakarta


“I forget Jakarta … all the friendly faces in disguise. This time, I’m closing down this fairytale. And I put all my heart to get to where you are. Maybe it’s time to move away, I forget Jakarta”

Aku menghentikan aktivitasku sejenak, setelah telingaku menangkap sebuah lagu yang familiar. Lagu yang mampu membawaku pada kejadian 3 tahun lalu. Seketika aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, membiarkan beberapa memori memasuki pikiranku dengan liar.
Lagu itu, mengingatkanku kepada seorang laki – laki yang ku kenal 3 tahun lalu di Jakarta. Tepatnya saat kami sama – sama tengah mengenyam bangku kuliah. Aku ingat betul dengan perkenalan kami yang tanpa sengaja, namun sangat cepat untuk menjadikannya orang terdekat, maksudku –orang spesial.
Tak perlu waktu lama, kurang dari satu bulan perkenalan kami, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Terlalu cepat dan aneh menurutku. Namun pada akhirnya kami sama – sama menyepakati untuk saling menyayangi.
Dan setelah perkenalan singkat ini, perjalananku di mulai. Aku mulai mengenal Jakarta dan seluruh partikel yang ada di dalamnya. Di sini aku mulai mencoba banyak hal. Sesekali merasakan menjadi ‘Anak Jakarta’ yang sesungguhnya. Mengelilingi metropolitan dengan mobil pribadi, tak jarang makan di tempat yang sebelumnya mendengar namanya pun aku asing. Tak jarang pula aku ikut merasakan Sunday Morninng Riding di jantung Jakarta bersama club Mogenya.
Terkadang aku tak habis pikir, keberuntungan apa yang sedang menimpaku ? mengenal laki – laki sebaik ini lengkap dengan keluarganya yang juga baik terhadapku. Beberapa kali aku menerima pemberian dari ibunya, entah pakaian, makanan, atau bahkan oleh – oleh ketika beliau bepergian.
Sudah tak terhitung berapa kali aku menjadi tamu di rumahnya, menghadiri acara – acara keluarga besar atau sekedar makan malam bersama.
Dua tahun kami jalani, hingga akhirnya aku merasa tidak ada lagi kecocokan di antara kami. Tak ada lagi yang mau mengalah. Apa yang kami mau tak dapat kami sampaikan dengan baik hingga akhirnya aku menganggap berpisah adalah jalan yang terbaik. Namun tidak untuknya.
Butuh waktu yang lama untuk aku yakin bahwa kami harus berpisah. Karena aku merasa telah menggantungkan kebahagiaanku di sini dengannya. Dengan segala pertimbangan yang ada. Akhirnya aku memantapkan diri untuk benar – benar berpisah. Mungkin ini hal tersulit untuknya, namun bagiku ini adalah jalan terbaik.
Pada awalnya, aku merasa lebih baik, bahkan sangat baik. Aku merasa bebas, tanpa ada lagi tuduhan – tuduhan yang menghujaniku setiap hari. Ya, dia seorang yang sangat pecemburu dan over protektiv. Segala yang aku lakukan, ia wajib mengetahuinya.
Lalu apa yang terjadi dengannya? Ia masih kekeuh dengan perhatiannya kepadaku. Tak jarang ia sedikit menyinggung apakah aku masih menyayanginya? Sangat mustahil bagiku untuk menghilangkan perasaan dengan sekejap, namun apa boleh buat. Aku tak menjawab pertanyaan itu dengan alasan aku tak ingin ia berharap lagi denganku. Sudah cukup aku ingin menyudahi semuanya dengannya.
Hingga akhirnya waktu itu tiba. Aku mendengar kabar bahwa ia telah memiliki kekasih baru. Kulihat dari sosial medianya, ia terlihat bahagia di sana. Kemudian bagaimana denganku? Aku shock, ternyata aku belum benar – benar siap menghadapi ini. Tetapi semuanya telah benar – benar berakhir dan aku harus melupakannya.
Tiba – tiba dadaku sesak. Terlalu banyak kenangan yang telah ia berikan. Bahkan setengah perjalananku di kota ini adalah tentangnya. Apapun yang telah kusinggahi adalah ceritaku bersamanya.
Tangisku pecah. Ternyata aku merindukannya. Menyadari hal itu saat ia telah bersama orang lain aku rasa percuma. Apalagi dengan sikapnya yang tak menunjukkan kedewasaan yang membuatku semakin tak mampu menjalin kembali komunikasi dengan baik.
Satu minggu sudah aku terpuruk. Aku sedih. Tangisku tak kunjung berhenti. Aku merasa bersalah karena tak bisa menjaga komunikasi dengan baik setelah perpisahan itu.
Hingga akhirnya aku yakin. Keputusan yang kuambil sudah tepat. Dan saatnya aku melupakan kenangan di sini. Jakarta.

“I forget Jakarta … all the friendly faces in disguise. This time, I’m closing down this fairytale. And I put all my heart to get to where you are. Maybe it’s time to move away, I forget Jakarta”


No comments:

Post a Comment